Senin, Januari 25, 2016

RESENSI NOVEL: DENTING PIANO PUKUL 11 MALAM


Kisah Hantu dan Tragedi Remaja Kota Ngalam

Oleh YUSRI FAJAR
Cerpenis, Dosen FIB UB


            Apakah di kota Ngalam yang kini anda tinggali, anda pernah berpikir atau berimajinasi tentang makhluk yang berada di dunia lain? Pernahkan anda mendengar cerita dari tetangga, sahabat dan saudara tentang arwah gentayangan dari orang-orang yang telah meninggal secara tragis? Ketika saya mengunjungi kebuh teh Wonosari Lawang Malang, salah seorang pegawai Kafe Rollas yang terletak persis di samping pabrik pengolahan teh di area Kebun yang dikelola PTP XII itu bercerita kepada saya bahwa di dalam pabrik yang beroperasi ketika malam itu sering ada penampakan hantu bule Belanda yang dulu merupakan seorang amtenaar di pabrik itu. Menurut dia hantu itu sering muncul di salah satu sudut di dalam pabrik yang dibangun Belanda sekitar tahun 1912 tersebut. 
            Narasi-narasi tentang makhluk gaib yang hidup di alam berbeda masih menghiasi kehidupan sehari-hari. Lanskap kehidupan tokoh yang penuh misteri, ketakwajaran dan keanehan sejak lama memperkaya dunia sastra, seperti cerita dalam novel bergenre gothic. Melalui latar kota Malang, Novelis Kunthi Hastorini menulis novel bertajuk “Denting Piano Pukul 11 Malam” yang menghadirkan rangkaian peristiwa penuh misteri dibalik meninggalnya dan kemunculan hantu salah satu tokoh utama novel ini yaitu gadis remaja kota Malang bernama Carla yang memiliki saudara perempuan kembar bernama Careen.
Teknik penceritaan dalam novel yang dilakukan melalui alur maju dan mundur yang disusun secara bergantian, dengan keterangan bulan dan tahun di awal setiap bab membuat pembaca penasaran. Misalnya, di bab satu dengan keterangan waktu tahun 2010 (dari 13 bab yang ada) dikisahkan Carla, yang masih hidup, tengah berangkat ke sekolah bersama Careen. Sementara di bab kedua dengan latar waktu tahun 2015 Carla dikabarkan telah meninggal. Sebuah pergantian cepat dari latar waktu yang sengaja dilakukan untuk menghadirkan misteri di awal cerita. Apa yang menyebabkan Carla meninggal dan siapa yang setiap jam 11 malam memainkan piano di rumahnya? Ini tipe pertanyaan mendebarkan sekaligus misterius. Dalam tradisi sastra gothic, latar waktu malam hari dipilih selain untuk menciptakan ketegangan dan suasana menakutkan, juga untuk membangun relevansi kehadiran hantu yang identik dengan setting malam yang gelap dan teka-teki yang belum tersingkap.
‘Hantu’ Carla dikisahkan masih menyimpan ketidakpuasan bahkan dendam kepada beberapa orang yang memengaruhi perjalanan hidupnya. Tokoh-tokoh penting dalam novel “Denting Piano Pukul 11 Malam” berasal dari keluarga di Malang dengan kondisi ekonomi yang mapan. Hal ini diperkuat dengan deskripsi rumah si kembar Carla dan Careen yang bermodel Bungalow dan aneka kebutuhan mereka yang selalu tercukupi. Mereka juga memiliki beberapa pembantu yang patuh dan setia. Sementara tetangga si Kembar, yaitu Sandy juga berasal dari keluarga kaya. Ayahnya memiliki sumber penghasilan yang baik karena memiliki pekerjaan prestigius di Belanda.
Konflik dalam cerpen ini bermula dari ‘salah asuh dan perlakuan’ dari orang tua. Ibu Carla dan Careen memperlakukan mereka secara berbeda; Carla lebih difasilitasi karena dianggap punya fisik lebih cantik dan berbagai talenta. Sementara Careen seringkali dianaktirikan. Perlakukan ini membuat Carla menjadi lebih superior dibandingkan Careen. Sifat egois, iri hati dan dengki tersemaikan dalam keluarga. 
Kondisi tersebut diperburuk dengan berseminya benih-benih cinta segitiga antara Sandy, Carla dan Careen. Persaingan dan hubungan yang tidak harmonis makin meruncingkan konflik. Baik Carla dan Careen memang menyukai Sandy. Mereka kuliah di satu Universitas di Malang. Alih-alih Sandy menjadi tokoh pengisi lubang hati Carla atau Careen untuk membangun romantika manis dalam cerita, ia dalam perjalanan cerita justru lebih menjadi tokoh penting yang berperan menjalankan misi mengungkap misteri-misteri yang terjadi. Sandy menjadi pendulum pendorong tersingkapnya sebab dan akibat tragedi-tragedi dalam keluarga Carla dan Careen.
Impian ibunda Carla agar Carla menjadi tumpuan keluarga dan imaji kebahagian atas cinta tak pernah terwujud hingga di akhir cerita. Carla terjatuh dari Bungalow dan meninggal setelah bertengkar hebat dengan Careen karena Gaun milik Carla dinodai secara tidak sengaja oleh Careen dengan cairan berwarna merah. Musibah keluarga makin parah karena Careen akhirnya mengalami gangguan mental, yaitu dualisme diri, yang seakan ada subjek eksternal yang mengawasi dirinya sehingga memunculkan rasa takut dan gelisah terus-menerus. Sang ibu, Imelda, yang tak bisa menerima kenyataan tragis yang menimpa kedua anaknya itu akhirnya juga mengalami gangguan jiwa dan harus pergi dari rumah. Sakit jiwa atau kegilaan (madness) yang dialami beberapa tokoh cerita, dalam sastra gothic, menjadi unsur penting dalam menunjukkan akibat teror dan suasana horor dari sebuah pergulatan psikologis yang menekan.
Kehadiran novel “Denting Piano Pukul 11 Malam’ dengan demikian memberikan kesan dan pesan tentang beberapa hal. Pertama, narasi dan pengaruh khazanah dunia gaib yang belum sepenuhnya terhapus dari entitas logika manusia. Kepercayaan manusia atas keberadaan ‘hantu’ masih tertuang dalam wacana dan perbincangan sehingga novel-novel horor bisa jadi akan terus membanjiri dunia sastra. Kedua, pesan tentang tragedi dalam keluarga yang dipicu oleh pendidikan dalam keluarga yang salah; Relasi orang tua dan anak tidak harmonis dan perlakukan berbasis materi semata tanpa nilai-nilai keluhuran membuka pintu konflik dan berbagai masalah pelik. Ketiga, cinta segitiga selalu saja memporakporandakan keutuhan rasa memiliki dan menimbulkan keterpecahan hubungan seutuhnya. Struktur cerita dan genre cerita bernuansa horor dalam novel ini rasanya lebih digunakan sebagai medium untuk menyampaikan nilai-nilai moral tentang harmoni dalam keluarga, dan representasi para remaja yang cenderung labil dan berpotensi mengalami krisis mental yang jika tak berkelola dengan baik bisa berujung pada tragedi.  
Meskipun genre horor memiliki keunikan dan kekhasan, dalam jagad kesusastraan Malang Raya novel bergenre ini belum terlalu menarik para pengarang. Hal ini bisa dilihat dari belum banyaknya novelis di Malang menggarap genre ini. Novel-novel realis lebih mendominasi. Di kota yang terus berkembang dalam suasana hedonisme dan pembangunan fisik serta pengagungan logika ilmiah, bisa jadi hal-hal mistik dan supranatural makin kurang menggiurkan. Meskipun, dalam penat kehidupan metropolitan dan deratan rumus-rumus pembangunan fisik serta pengagungan logika, diam-diam ada manusia yang ingin berkelana dalam dunia tak kasat mata. Di atas semua itu, yang lebih penting, terutama terkait pesan dalam Novel karya Kunthi Hastorini, adalah bagaimana di kota-kota besar para remaja mampu menggunakan akal sehat dan nurani jernihnya untuk meredam fatamorgana dari godaan yang serba materialistik.
                         

Puisiku Jadi Lagu